OPINI  

ISRA’ KEHIDUPAN (Catatan Jumat & Hikmah Isra’ Mi’raj)

Oleh: Muhammad Akil Musi (Dosen UNM/ Muballig).

Peristiwa Isra’ Mi’raj, sejatinya untuk ummat Rasulullah SAW, agar memetik isyarat dan hikmah sehingga ummat manusia menjalankan karakter hamba yang meneladani Rasul serta setiap detail dari peristiwa maha dahsyat tersebut.

—————————————

Kehidupan ini sering digambarkan sebagai suatu perjalanan. Ada beberapa ayat dalam Al Quran yang secara eksplisit menjelaskan bagaimana seharusnya manusia sebagai hamba dalam “berjalan” dan “menjalan”kan fungsinya (QS An Naml: 69, Muhammad: 10,  Al Mulk:15)   

Perjalanan manusia adalah menjalankan fungsi-fungsi penghambaan (abedihii). Hal ini menegaskan bahwa seluruh dimensi kehidupan manusia adalah penghambaan (Adz Zariyat:56). Banyak manusia tetapi belum tentu mendapatkan pengakuan sebagai hamba.

Maka segenap  jengkal bumi adalah tempat bersujud. Rumah tempat tinggal adalah sajadah, kantor tempat kerja adalah sajadah. Anomali, ada diantara kita memang menjadikan masjid sebagai tempat sujud tapi ketika di kantor malah menjadi tempat melakukan korupsi.

Perjalanan kehidupan manusia yang beriman laksana dilakukan di malam hari (laylan). Ibadah bukanlah bermaksud mendapatkan pujian manusia sebab kebaikan tak membutuhkan semua itu. Riya adalah kecelakaan dalam menjalankan fungsi ibadah dalam penghambaan (Al Maauun: 6 ).

Masjid adalah simbol kesucian dan jahada dalam perjalanan manusia. “Minal masjid ilal masjid”. Bumi adalah makro baitullah (rumah Allah) dan masjid adalah ketaatan universal. Beranikah kita mencuri atau bermaksiat ketika berada di masjid?.  

Perjalalanan manusia bukan karena kuasanya. Segala yang dimiliki manusia adalah atas kehendak Allah SWT. Selalu ada Allah dibalik seluruh kesuksesan hidup kita. Kita hanya “diperjalankan” sementara dan segalanya kelak akan dikembalikan.

Sebaik-baik perjalanan hidup manusia adalah membawa manfaat dan keberkahan (baraknaa) bagi yang lainnya. Manusia yang terbaik adalah yang memberi manfaat bagi sesamanya. Seindah apapun hidup yang digapai sejatinya bukan untuk diri sebab ada “hak” orang lain.

Perjalanan manusia disertai dengan tanda-tanda (aayaatinaa) untuk memilih jalur (haq atau bathil). Meski begitu ada juga manusia yang menyalib dan menelikung apa yang telah menjadi ketentuan dan syariat Allah.  

Perjalanan manusia disaksikan Yang Maha Mendengar (samiiu) bisikan batin para hamba-Nya dan Maha Melihat (bashiir) atas seluruh perbuatan. Tak ada detak jantung, ataupun gerakan tubuh dari makhluk yang ada di antara langit dan bumi ini yang lepas dari pengamatan-Nya.

Perjalanan manusia dalam kehidupan ini hanya untuk Allah semata. Manusia boleh menyangsikan atau menghina bahkan mencampakkan segala kebaikan kita namun ada keyakinan bahwa semua dilakukan dengan teguh (istiqamah) dan ikhlas lillahi taala.

Perjalanan manusia dalam kehidupan ini tentu tak luput dari ujian, cobaan dan tantangan. Manusia senantiasa akan diuji apakah ikhlas, istiqamah dan sanggup menahan segala godaan dan mengendalikan hawa nafsunya.

Kehidupan manusia bukanlah atas kehendaknya. Perjalanannya di dunia ini ibarat “hanya” semalam, tidak lama ibarat suatu persinggahan semata. Perjalanan panjang manusia sejatinya adalah ketika di akhirat.

Kehidupan ini sebentar laksana “bouraq” yang melintas secepat kilat. Jarak kehidupan dan kematian pun sebegitulah dekatnya. Semua perjalanan akan berakhir untuk kembali kepada-Nya untuk mempertanggungjawabkan setiap perjalanan kehidupan.

Maka senantiasalah belajar “menjumpai” Allah dengan Shalat. Shalat adalah mi’raj-nya seorang hamba yang beriman. Shalat adalah amalan yang pertama kali dihisab diakhirat sebab ibadah ini simbol konsistensi dan kualitas perjalanan dalam menjalankan fungsi sebagai hamba.(*/aksi)



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *