Tiga Petani Soppeng Divonis Bersalah, Ironi di Negeri Agraris BERTANI Diganjar KRIMINALISASI….!!!

Mediumindonesia.com, Soppeng – “Bukan kebun saya yang masuk kawasan hutan lindung tapi hutan itu yang masuk di kebunku” (Natu bin Taka)

Selasa 19 Januari 2021 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Watangsoppeng yang mengadili perkara Nomor 84/Pid/2020/PN.Watansoppeng menyatakan para terdakwa bersalah dan memenuhi unsur pembuktian pada pasal 82 UUP3H dan menjatuhkan vonis tiga bulan. Tiga orang tersebut adalah Natu bin Takka (75), Ario Permadi bin Natu dan Sabang bin beddu. Mereka merupakan petani asal kabupaten Soppeng yang dikriminalisasi dengan dakwaan melakukan pembalakan liar dengan cara menebang pohon, mengangkut dan membawa alat penebang kayu berdasarkan ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf b atau Pasal 82 ayat (2) atau Pasal 83 ayat (1) huruf a atau Pasal 84 ayat (1) atau Pasal 84 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Padahal, para Terdakwa menebang pohon untuk keperluan membangun rumah (bukan untuk komersil). Kebun jati Natu sudah dikelola secara turun-temurun. Selama mengelola kebun tersebut, Natu tak pernah ditegur oleh pihak kehutanan. Setiap tahun, Natu aktif membayar PBB sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2020.

Vonis yang dijatuhkan majelis hakim ini menambah deretan kriminalisasi petani tradisional dalam klaim kawasan hutan. Konflik agraria yang kronik ini tidak pernah ada penyelesaian dan selalu berakhir dengan pemidanaan kepada petani.

Sungguh sangat ironis ketika ladang kehidupan rakyat, sumber sumber agraria para petani kecil yang sudah hidup secara turun temurun jauh sebelum penunjukan kawasan hutan yang secara semena-mena dianggap sebuah tindakan kriminal.

Rentetan peristiwa kriminalisasi petani tradisional sejak tahun 2017 hingga kasus petani Soppeng dalam catatan KPA Sulsel yang terjerat UUP3H berjumlah tiga belas orang. Secara keseluruhan petani yang dikriminalisasi karena klaim kawasan hutan dalam lima tahun terakhir adalah dua puluh tiga (23) orang.

Kriminalisasi petani hutan dalam periode pemerintahan Jokowi membuktikan bahwa Agenda Reforma Agraria Presiden Joko Widodo yang sejak periode pertama digembar gemborkan tidak berjalan. Program Tanah Objek Reforma Agraria-TORA khususnya angka 4,1 juta Ha redistribusi kawasan hutan tidak terealisasi.

Agenda Reforma Agraria yang terlihat tidak lebih dari sekedar program bagi-bagi sertifikat semata, sementara konflik agraria signifikan tak terhenti. Pun Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria telah dikeluarkan namun tidak membawa dampak positif bagi agenda Reforma Agraria di Indonesia. Sementara petani yang tanahnya sudah diambil negara, mereka dibui pula sungguh terbalik perlakuan negara terhadap korporasi-korporasi

Kasus petani Soppeng dalam jerat UUP3H sungguh mencederai rasa keadilan kita. Meskipun berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan membuktikan bahwa perbuatan terdakwa tidak termasuk kualifikasi subjek hukum yang diatur dalam UU P3H. Sehingga perbuatannya tidak termasuk kategori tindak pidana. Apalagi, karena pak Natu dkk termasuk masyarakat yang dikecualikan sesuai Pasal 1 angka 6 UU P3H “tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial”.

Klaim kawasan hutan yang mengeksklusi petani dari sarana produksi mereka jelas melahirkan kemiskinan begitupun di Sulawesi Selatan.  Data penduduk miskin di Sulawesi selatan Maret 2020 sebesar 776,83 mengalami peningkatan sebesar 17,25 ribu jiwa dari bulan September 2019. Bahkan diperkirakan kemiskinan semakin surplus dalam masa pandemi Covid-19 ini. Perampasan tanah-tanah rakyat dalam klaim kawasan hutan menimbulkan ketimpangan struktur agraria yang akut dan massif. Di Sulawesi Selatan dari 3030 desa/kelurahan yang ada,  1028 desa yang masuk dalam klaim kawasan hutan atau ada sekitar 2 juta 639 ribu jiwa penduduk yang sumber-sumber agrarianya yang tergantung dalam klaim kawasan hutan termasuk 23 ribu jiwa penduduk Soppeng yang hidup dalam klaim kawasan hutan Laposo Ninicoang.

Saat negara dan korporasi menguasai tanah begitu besar, tragisnya petani-petani di negara agraris ini justru semakin kehilangan lahan-lahan pertanian mereka. Ini bisa dilihat dari jumlah petani gurem di Sulawesi Selatan menurut sensus pertanian tahun 2018 mencapai 985,088 ribu jiwa meningkat 34,847 ribu jiwa atau 3,67% dari tahun 2013 sebesar 950,241 ribu jiwa. Sementara data bulan februari 2020 penduduk Sulawesi Selatan berdasarkan lapangan pekerjaan utama, paling banyak bekerja pada sektor pertanian yaitu 1.428.532 orang (36,55 persen). Disusul oleh sektor perdagangan sebanyak 730.328 orang (18,69 persen).
Sungguh ironi, bertani di negeri agraris tanah tinggal segaris malah diganjar kriminalisasi.

Berdasarkan situasi diatas, maka kami bersikap:

1. Menolak vonis hakim PN. Watansoppeng atas perkara Natu Bin Taka dkk dan menyatakan banding
2. Mendukung sepenuhnya perjuangan petani-petani tradisional untuk mempertahankan sumber-sumber agraria  mereka yang secara semena-mena masuk dalam klaim kawasan hutan.
3. Menuntut Kepolisian, KLHK dan Seluruh lembaga negara untu menghormati  hak-hak petani yang dilindungi konstitusi dan menghentikan segala bentuk praktik intimidasi dan kriminalisasi terhadap petani-petani tradisional yang telah hidup secara turun temurun dan mengelola sumber penghidupan mereka
4. Mendesak Presiden Joko Widodo untuk menjalankan agenda Reforma Agraria secara menyeluruh/komprehensif dan segera melepaskan tanah-tanah rakyat yang berada dalam klaim kawasan hutan demi kepastian hukum, keadilan serta penghormatan kedaulatan hak-hak rakyat sehingga tidak ada lagi petani yang dikriminalisasi dikemudian hari.
Makassar, 19 Januari 2021

“KPA Sulawesi Selatan & YLBHI –LBH Makassar”



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *